Keputusan Menjadikan Infrastruktur Sebagai Pembangun Peradaban


"Ketika kita membangun infrastruktur fisik seperti jalan tol, bandara, MRT, LRT, kita sesungguhnya membangun peradaban, membangun konektivitas budaya, membangun infrastruktur budaya," kata Jokowi saat memberikan kuliah umum di depan ribuan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Sabtu (23/6/2018).
Secara umum, pengertian peradaban adalah bagian dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah, dan maju. Peradaban adalah kumpulan suatu identitas terluas dari seluruh hasil budidaya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik fisik seperti bangunan, jalan maupun non fisik seperti nilai-nilai, tatanan, seni budaya ataupun iptek, yang teridentifikasi melalui unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subjektif.
Peradaban menurut Arnold Toynbee yaitu suatu kebudayaan yang sudah mencapai taraf perkembangan teknologi yang lebih tinggi. Selkain itu, di juga menyatakan bahwa peradaban adalah kumpulan seluruh hasil budi daya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik fisik seperti bangunan, jalan) ataupun non-fisik (seperti nilai, tatanan, seni budaya ataupun iptek).
Adapun ciri-ciri dari peradaban diantaranya:
  • Pembangunan kota-kota baru dengan tata ruang yang lebih baik, indah, serta modern
  • Sistem pemerintahan yang baik disebabkan karena adanya hukum dan peraturan.
  • Berkembangnya beragam ilmu pengetahuan dan juga teknologi yang lebih maju seperti astronomi, bentuk tulisan, arsitektur, ilmu ukur dan lain sebagainya.
  • Masyarakat dalam berbagai jenis pekerjaan, keahlian, serta juga strata sosial yang lebih kompleks.


    Pengambilan Keputusan di Bidang Infrastruktur Sebagai Pembangun Peradaban


Menurut Nigro, ada 5 faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan, yaitu adanya tekanan dari luar, adanya pengaruh kebiasaan lama, adanya pengaruh sifat pribadi, adanya pengaruh kelompok luar, dan adanya pengaruh keadaan masalalu.
Contoh keputusan pemerintah untuk membangun kereta api cepat (medium, bukan supercepat seperti Shinkansen atau TGV) Jakarta-Bandung lewat kerja sama dengan Tiongkok menjadi pertanyaan banyak ahli ekonomi dan masyarakat. Jika terjadi, proyek itu merupakan pemborosan belaka. Sebenarnya, tanpa perlu penelitian dan kajian mendalam, infrastruktur dan sarana transportasi antara kedua kota itu sudah sangat memadai. Justru lebih mendesak adalah pembangunan infrastruktur jalan dan kereta api di luar Jawa. Dengan infrastruktur cukup baik—meski terbatas seperti jalan raya—menjadi mungkin, misalnya, membawa warga terasing, seperti Suku Anak Dalam di Jambi yang belum lama ini dikunjungi Presiden, ke kebudayaan lebih tinggi dan peradaban. Pasti masih banyak suku terasing semacam Suku Anak Dalam atau suku Kubu lain di banyak wilayah. Bahkan, banyak warga bukan suku terasing yang tidak atau belum menikmati pembangunan karena infrastruktur jalan tak memadai sehingga sulit dilayani alat transportasi apa pun.
Contoh lain adalah realisasi pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), yang berbiaya tinggi dan mematikan moda transportasi laut, tapi tidak ekonomis dan tidak membuat warga lebih sejahtera.
Dilihat dari kepentingan berbangsa, JSS ini adalah proyek besar yang akan mengantarkan bangsa ini masuk ke jurang kehancuran. Sebab dari aspek finansial, dana Rp. 250 triliun itu tidak sedikit. Jauh akan lebih bermanfaat untuk membangun infrastruktur pertanian (termasuk pertanian garam agar tidak impor garam), infrastruktur perkebununan, peternakan, dan perikanan agar bangsa Indonesia dapat mandiri dari segi pangan. JSS juga dapat mempercepat disintegrasi bangsa, terutama antara Indonesia Barat –yang selalu dimanjakan dengan infrastruktur —dan Indonesia Timur  yang selalu termarginalisasi. Bagaimana warga di Papua tidak marah dan menuntut merdeka bila persoalan infrastruktur mereka sampai sekarang belum terpecahkan, tapi anggaran besar dari negara justru akan dipakai untuk membiayai proyek megalomania saja, yang dampaknya juga akan mematikan moda transportasi laut yang selama hampir satu abad menjadi jembatan penghubung antara Jawa dengan Sumatra.

Kesimpulan dan Saran

Mempertimbangkan berbagai poin dan contoh diatas, pengambilan keputusan pembangunan infrastruktur masih kurang tepat sasaran, sehingga dapat berpengaruh bagi peradaban masyarakat Indonesia, yaitu peradaban akan semakin menurun dan akan terjadi ketimpangan antara satu daerah dengan yang lainnya.
Sudah saatnya perlu refleksi lebih jauh tentang makna pembangunan—termasuk dalam hal sarana transportasi, seperti kereta api cepat Jakarta-Bandung. Kasus ini secara jelas memperlihatkan bukan hanya inkonsistensi dalam kebijakan dan praksis pembangunan, melainkan juga dalam kaitan dengan peningkatan kebudayaan dan peradaban. Karena itu, pembangunan sering disebut kalangan akademisi dan budayawan sebagai tidak memiliki strategi kebudayaan yang jelas dan konsisten—atau bahkan strategi peradaban untuk memajukan seluruh bangsa Indonesia. Hasilnya, pembangunan bukan hanya kian menciptakan disparitas ekonomi, tetapi juga kesenjangan sosial-budaya dan peradaban di antara suku-suku dan warga. Dengan demikian, pembangunan belum berhasil melakukan transformasi ekonomi dan transformasi sosial menyeluruh seperti dianjurkan Sri-Edi Swasono. Menurut Guru Besar UI ini, UUD 1945 tegas menggariskan kebijakan nasional untuk melakukan transformasi dalam kedua bidang kehidupan ini dalam rangka membangun peradaban Indonesia yang berharkat dan bermartabat tinggi (Keindonesiaan: Demokrasi Ekonomi, Keberdaulatan dan Kemandirian, 2015). Sejauh ini, pembangunan dalam batas tertentu memang telah menghasilkan transformasi ekonomi. Namun, arahnya belum sesuai dengan pesan UUD 1945 yang menekankan ekonomi kebersamaan dan ekonomi kerakyatan. Sebaliknya, ekonomi Indonesia, aset dan sumber daya alam Indonesia kian terjerumus ke dalam penguasaan kapitalisme, pasar bebas, dan neoliberalisme global—semakin menjauh dari kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa. Gejala sama terlihat dalam transformasi sosial. Pertumbuhan ekonomi memang telah memunculkan kelas menengah dalam jumlah signifikan. Namun, saat yang sama terjadi pula penguatan gaya hidup konsumeristis dan hedonistis berbarengan dengan merosotnya budaya kewargaan (civic culture) dan keadaban publik (public civility). Kecenderungan ini terlihat jelas dari kian padatnya kendaraan di jalan raya. Namun, kepatuhan pada ketentuan hukum dan ketertiban kian turun hampir ke tingkat nadir. Walhasil, jika Indonesia sebagai negara besar ingin membangun peradaban lebih baik, mulai dari sekarang perlu mengoreksi konsep, strategi, arah, dan praksis pembangunan.

Post a Comment

0 Comments